Di tengah derasnya arus globalisasi, di saat nilai-nilai diperdagangkan dan kebenaran dipermainkan, masih ada satu barisan yang berdiri tegak tanpa gentar: santri. Bukan sekadar pelajar kitab kuning, bukan hanya penghuni pesantren mereka adalah penjaga nurani peradaban. Mereka bukan lahir dari kemewahan teknologi, tapi dari tempaan keheningan malam, dari sujud panjang yang tak terlihat mata dunia. Dan nyatanya, dari tempat yang sering diremehkan itulah, lahir cahaya yang tak pernah padam.
Hari ini, ketika banyak pihak mulai mencurigai pesantren, menuding seolah menjadi ruang gelap, santri tidak gentar. Karena sejak dulu, pesantren bukan hanya mencetak ahli agama, tapi melahirkan pemberani berpikir, penggerak perubahan, pemelihara akhlak bangsa. Merekalah benteng terakhir ketika kebebasan tanpa iman mulai merusak arah generasi.
Santri paham: zaman boleh modern, dunia boleh berubah, tapi nilai tidak boleh dikorbankan. Di saat banyak yang terbuai oleh pujian dunia digital, santri justru membangun peradaban dari kesadaran terdalam bahwa ilmu tanpa adab adalah bencana. Santri menguasai masa depan bukan dengan sekadar kecanggihan, tapi dengan kejernihan. Dalam sunyi mereka belajar, dalam senyap mereka menghafal, dalam tawadhu mereka memimpin.
Karena santri tahu, peradaban tidak pernah dibangun oleh orang yang hanya pintar, tapi oleh mereka yang benar.
Dan di situlah santri berdiri: bukan sekadar pembelajar, tapi penjaga arah. Bukan hanya penerus tradisi, tapi penentu sejarah.
Maka jika hari ini ada yang meragukan pesantren, biarlah waktu yang menjawab. Sebab sejarah membuktikan, ketika dunia goyah mencari pegangan, santri justru maju ke depan — bukan untuk tampil, tapi untuk menuntun.
Santri bukan masa lalu. Santri adalah masa depan.
Dan selama mereka ada, peradaban tidak akan padam.