Bukan Pesantrenku yang Salah, tapi Aku yang Terlalu Menyia-nyiakan Kesempatan Ini

 

Andai dulu aku di pesantren benar-bena
r menggunakan kesempatan dengan sebaik mungkin — sebuah pengakuan, penyesalan, dan pelajaran untuk kita yang sedang nyantri.

Dulu, ketika aku melangkah menapaki gerbang pesantren, hati ini dipenuhi harap. Di sana ada janji: ilmu yang mengakar, adab yang menuntun, ukhuwah yang menyejukkan, dan waktu yang—katanya—tak pernah sia-sia jika dipakai belajar kepada Allah dan belajar untuk hidup. Namun semakin hari, semakin sering kuketuk pintu kenangan, kutemui fakta yang menampar: bukan pesantren yang keliru, melainkan aku yang membiarkan kesempatan-kesempatan emas berlalu begitu saja.

Pengakuan yang jujur

Aku sering berdalih: “Nanti saja”, “Besok aku serius”, “Teman ini perlu ditemani dulu”, atau “Hanya santai sebentar.” Waktu shalat berjamaah kuganti dengan tidur siang. Kajian tafsir yang sebenarnya menarik kulupa karena ponsel lebih sering menggoda. Riyadhoh dan muhasabah yang bisa menjadi obat hati kutinggalkan. Aku menukar tadris dan halaqah dengan kegiatan yang memberi kepuasan sesaat, bukan bekal selamanya.

Ini bukan soal kesalahan pesantren atau guruku. Faktanya—dan ini penting—pesantren memberi struktur dan fasilitas: jadwal harian dari shubuh hingga isya, majelis ilmu, santri senior sebagai panutan, perpustakaan, kesempatan mengikuti ujian atau kompetisi ilmu, serta lingkungan yang menumbuhkan disiplin. Semua itu disediakan. Yang hilang adalah kesadaran dan kemauan di dalam diriku sendiri untuk memanfaatkan semuanya.

Fakta pesantren yang sering kita remehkan

Beberapa hal faktual yang kerap luput dihargai oleh santri muda:

  1. Waktu terstruktur — Di pesantren, waktu teratur: shalat, belajar, mengaji, kewajiban asrama. Struktur ini sesungguhnya adalah modal besar untuk membangun kebiasaan belajar.

  2. Akses pengajar dan sanad — Kehadiran kiai, ustadz, atau guru-guru memberikan akses langsung pada ilmu yang berkesinambungan; kesempatan tanya jawab muka ke muka jarang ditemukan di luar pesantren.

  3. Pembentukan adab — Pendidikan pesantren bukan sekadar transfer informasi; ia membentuk karakter: sopan santun, rasa hormat, kesabaran, dan tanggung jawab.

  4. Komunitas yang mendukung — Persahabatan di pesantren memberi jaringan sosial yang bisa menjadi pegangan hidup: melahirkan kolaborasi, kerja, dan dakwah.

  5. Kesempatan praktik ibadah dan kemahiran ritual — Dari tajwid hingga kitab kuning, dari tafsir hingga fiqh praktik—semua dapat dikuasai jika dimanfaatkan.

Fakta-fakta ini nyata. Sayangnya, kenyataan itu juga mudah menjadi hampa ketika hati dan niat tidak terjaga.

Andai… (bayangan jika kesempatan dipakai)

Bayangkan—jika dulu aku benar-benar memanfaatkan setiap kesempatan kecil: bangun subuh tepat waktu untuk shalat berjamaah dan qiyam; mengulang pelajaran selepas pengajian; mencatat setiap ilmu yang disampaikan kiai; meminta bimbingan sanad, memperdalam kitab; mengikuti ujian dan lomba ilmiah untuk mengasah kemampuan; serta menanamkan kebiasaan menulis untuk mengabadikan gagasan.

Hasilnya? Mungkin bukan hanya menjadi lebih terampil secara akademik. Mungkin aku akan lebih disiplin, lebih peka terhadap nilai-nilai adab, mempunyai jaringan yang lebih kuat, dan punya bekal spiritual yang menenangkan saat menghadapi ujian hidup. Peluang kerja, dakwah, dan kontribusi untuk masyarakat—semua itu akan lebih mudah diraih, karena bekal pesantren tak hanya soal ilmu semata, tapi soal karakter yang bersinergi dengan kompetensi.

Mengapa kita mudah menyia-nyiakan?

Ada beberapa penyebab praktis yang sering terjadi pada santri:

  • Normalisasi penundaan: kebiasaan menunda jadi budaya—“nanti saja” jadi jawaban instan.

  • Godaan eksternal: gadget, hiburan, dan tekanan sosial yang mencuri fokus.

  • Kurangnya tujuan yang jelas: tanpa visi pribadi, kegiatan pesantren mudah terasa monoton.

  • Takut pada kegagalan: takut tanya, takut menunjukkan ketidaktahuan, akhirnya memilih diam.

  • Rasa nyaman yang berlebihan: lingkungan pesantren bisa membuat kita terlena—mungkin merasa ada waktu tak terbatas.

Mengenali penyebab membuat kita bisa merancang strategi sederhana untuk berubah.

Pelajaran dan langkah konkret untuk santri yang masih di pesantren (agar tak menyesal seperti aku)

Ini bukan ceramah—hanya pengalaman yang dijadikan peta agar kalian tak tersesat seperti aku.

  1. Buat tujuan harian dan mingguan — Tulis 3 hal kecil yang harus dicapai hari ini (mis. hafal 5 baris, baca 2 halaman kitab, bertanya 1 hal pada ustadz). Evaluasi setiap malam.

  2. Gunakan metode “waktu kecil berturut-turut” — Daripada memaksakan 2 jam belajar sekaligus, pakai 25–45 menit fokus (Pomodoro), lalu istirahat singkat. Ini lebih realistis dan efektif.

  3. Prioritaskan pertemuan langsung dengan guru — Setidaknya sebulan sekali minta bimbingan langsung; catat, dan praktikkan saran itu.

  4. Kurangi gangguan — Terapkan aturan sederhana: ponsel dimatikan saat majlis ilmu dan waktu belajar intensif.

  5. Menulis sebagai kebiasaan — Tulis ringkasan majelis ilmu; menjadi dokumentasi dan melatih pemikiran kritis.

  6. Ikut kegiatan nyata — Jika ada pengajian, lomba, karya bakti, mahasiswa/anggota pengurus—bergabunglah. Pengalaman praktis mengubah teori jadi kemampuan.

  7. Jaga adab dan ukhuwah — Ilmu paling bernilai jika disertai adab. Jadilah santri yang ringan tangan membantu, sopan, dan bertanggung jawab.

  8. Refleksi mingguan — Luangkan waktu untuk muhasabah: apa yang berhasil, apa yang perlu diperbaiki. Tulis agar menjadi kompromi dengan dirimu sendiri.

Untuk alumni atau yang sudah di luar pesantren

Jika kau membaca ini dari luar pesantren, izinkan penyesalanku menjadi pembelajaranmu. Banyak alumni yang menyesal karena tidak memaksimalkan waktu mondok; namun tidak sedikit pula yang kemudian memperbaiki—mengaji lagi, ikut kajian, menulis, atau mendirikan majelis ilmu. Pesantren tak hanya ruang waktu; ia adalah aset seumur hidup jika dipelihara. Jangan biarkan kesempatan itu menjadi kenangan pahit.

Menatap masa depan—tanpa penyesalan berulang

Penyesalan bukan akhir. Ia peringatan. Jika kau masih di pesantren, gunakan hari-harimu sekarang. Jika kau sudah keluar, pulanglah dalam makna: pulang dengan ilmu, kembali ke majelis, atau minimal hidupkan tradisi belajar dalam keseharian. Masa depan dibangun oleh kebiasaan kecil yang konsisten—bukan oleh semangat sesaat.

Penutup: sebuah surat untuk diriku dan untuk kalian yang sedang nyantri

Kepada diriku yang dulu, dan untuk kalian yang masih menata niat: jangan biarkan kesempatan menjadi barang antik yang cuma dikenang. Pesantren tidak pernah salah ketika ia memberi; kita yang perlu bertanggung jawab atas pilihan memanfaatkan. Tak perlu menunggu momen sempurna. Mulailah dari yang kecil — bangun shalat subuh, catat satu pelajaran, tanya satu hal yang belum paham, tulis ringkasan saat tidur. Nanti, dari hal-hal kecil itu, akan tumbuh sesuatu yang besar.

Jaga niat, perbaiki niat. Biarpun kadang rindu menyesal itu menusuk, jadikan ia bahan bakar, bukan batu penghalang. Untuk kalian yang masih nyantri: gunakan sekarang, atau nanti kamu akan bilang—“Andai dulu….” dan percayalah, suara itu berat untuk didengar.

Post a Comment

Previous Post Next Post