Banyak orang mengira, kedekatan dengan Allah ditentukan oleh jarak fisik. Siapa yang pernah masuk ke dalam Ka’bah dianggap paling mulia. Siapa yang berdiri lama di depan makam Rasulullah ﷺ dipandang paling dekat dengan-Nya. Padahal, kedekatan sejati tidak diukur oleh tempat, tetapi oleh keadaan hati.
Manusia yang paling dekat dengan Allah bukanlah sekadar mereka yang berada di lokasi-lokasi suci, melainkan mereka yang hatinya luluh dalam ketaatan. Rasulullah ﷺ sendiri telah menegaskan:
“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud.”
(HR. Muslim)
Sujud adalah titik terendah tubuh manusia, namun justru di sanalah derajatnya paling tinggi di sisi Allah. Saat dahi menyentuh bumi, ego runtuh. Kesombongan tak punya tempat. Yang tersisa hanyalah pengakuan bahwa kita hanyalah hamba lemah, bergantung, dan penuh kebutuhan.
Ketika seseorang bersimpuh dalam sujud lalu berbisik,
“Subḥāna rabbiyal a‘lā wa biḥamdih”
Maha Suci Tuhanku Yang Mahatinggi dan segala puji bagi-Nya,
sebenarnya ia sedang menyelaraskan batin dan lisan: merendahkan diri sambil mengagungkan Allah.
Ironisnya, banyak orang berdiri megah di tempat suci, namun hatinya tetap jauh. Sebaliknya, ada hamba yang sujudnya sederhana di kamar sempit, di masjid kampung, bahkan di lantai seadanya namun jaraknya dengan Allah begitu dekat. Karena yang Allah lihat bukan lantainya, melainkan hatinya.
Sujud mengajarkan satu hal penting: semakin kita merendah di hadapan Allah, semakin Allah mengangkat derajat kita. Dan semakin kita merasa tidak memiliki apa-apa, semakin kita menyadari bahwa Allah memiliki segalanya.
Maka jika ingin menjadi manusia yang dekat dengan Allah, jangan sibuk mengejar posisi di dunia atau sekadar tempat suci. Perbaiki sujudmu. Hidupkan hatimu di setiap rakaat. Sebab bisa jadi, di sanalah di antara dahi dan bumi Allah paling dekat denganmu.
