Dalam Islam, pendidikan
anak adalah amanah terbesar yang Allah titipkan kepada setiap orang tua. Allah
berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrîm: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa
mendidik anak bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga tanggung jawab
spiritual. Namun kenyataannya, banyak orang tua merasa tidak mampu mengawal
pendidikan anak secara optimal sehingga pesantren menjadi salah satu pilihan
terbaik. Hal ini tidak selalu menunjukkan kegagalan total, tetapi ada beberapa
kekurangan dalam proses tarbiyah di rumah yang perlu dicermati.
1. Kurangnya Keteladanan
dalam Akhlak dan Ibadah
Islam mengajarkan bahwa
pendidikan paling kuat adalah uswah hasanah — keteladanan.
Rasulullah ﷺ adalah contoh praktis bahwa akhlak
terbentuk bukan dari ceramah, tetapi dari perilaku yang ditiru.
Banyak orang tua:
1.
menuntut anak
rajin shalat, tetapi telat sendiri,
2.
meminta anak
sopan, namun marah dengan mudah,
3.
berharap anak
jujur, namun terlihat berbohong kecil.
Ketidaksesuaian antara
ucapan dan tindakan ini membuat anak kehilangan arah, sehingga lingkungan
pesantren yang penuh teladan menjadi solusi.
2. Kurangnya Kedekatan
Emosional dan Waktu Bermutu
Dalam Islam, hubungan
kasih sayang antara orang tua dan anak adalah pondasi tarbiyah.
Nabi ﷺ mencium cucunya Hasan dan Husain, lalu bersabda:
“Siapa yang tidak
menyayangi, tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)
Kekurangan yang sering
terjadi:
1.
orang tua sibuk
bekerja,
2.
komunikasi dengan
anak minim,
3.
Nasihat hanya
muncul ketika marah,
4.
Anak tidak merasa
didengar atau dipahami.
Akibatnya, pendidikan
akhlak tidak maksimal di rumah. Pesantren menjadi pilihan agar anak mendapatkan
lingkungan yang stabil, terukur, dan penuh bimbingan.
3. Kurangnya Konsistensi
dalam Menanamkan Nilai
Islam menekankan
pendidikan bertahap dan konsisten (tadarruj).
Namun dalam praktik:
1.
Aturan di rumah
sering berubah-ubah,
2.
Ada kalanya orang
tua terlalu longgar, lalu tiba-tiba keras,
3.
Hukuman dan
penghargaan tidak seimbang,
4.
Anak bingung mana
yang benar dan mana yang salah.
Pesantren memberikan
kejelasan: jadwal tetap, aturan jelas, pembiasaan ibadah, dan konsistensi
perilaku. Hal ini menutupi kekurangan pembiasaan di rumah.
4. Kurangnya Lingkungan
yang Kondusif untuk Akhlak
Islam menjadikan
lingkungan (bi’ah shalihah) sebagai faktor penting.
Ulama mengatakan:
“Akhlak anak dibentuk
oleh tiga hal: rumah, lingkungan, dan guru.”
Namun di rumah:
1.
Anak terlalu dekat
dengan gadget,
2.
Orang tua lemah
dalam memberi batasan,
3.
Lingkungan sekitar
kurang mendukung nilai agama,
4.
Pergaulan bebas
dan tekanan sosial tidak terkontrol.
Karena itu, pesantren
dipilih untuk memberikan lingkungan yang lebih terjaga dan bernilai ibadah.
5. Kurangnya Ilmu
Parenting dalam Perspektif Islam
Tidak semua orang tua memahami:
1.
Cara menasihati
sesuai sunnah,
2.
Psikologi
perkembangan anak,
3.
Manajemen emosi
dalam keluarga,
4.
Teknik membangun
perilaku tanpa kekerasan.
Padahal Allah menegaskan
bahwa mendidik anak membutuhkan ilmu:
“Dan katakanlah: ‘Ya
Tuhanku, tambahkanlah padaku ilmu.’” (QS. Thaha: 114)
Ketidakpahaman ini
membuat orang tua salah langkah, sehingga mereka memilih pesantren untuk
mendapatkan bantuan dari para ustaz dan kiai yang lebih ahli dalam tarbiyah.
Kesimpulan: Pesantren
Bukan Sekadar Tempat Titipan, Tapi Perbaikan
Menitipkan anak ke
pesantren tidak selalu berarti orang tua gagal. Justru bisa menjadi bentuk
kesadaran bahwa:
1.
Ada kekurangan
dalam pendidikan rumah,
2.
Butuh lingkungan
yang lebih kuat dalam agama,
3.
Anak butuh
bimbingan akhlak dan kedisiplinan,
orang tua ingin
memberikan yang terbaik untuk akhirat anaknya.
Islam memandang pesantren
sebagai perpanjangan tangan keluarga dalam melaksanakan amanah besar: membentuk
generasi beriman, berakhlak, dan berilmu.
Dengan memahami
kekurangan yang ada, orang tua bisa memperbaiki diri sekaligus menjadikan
pesantren sebagai mitra pendidikan, bukan pengganti peran keluarga.
