Dalam
kehidupan, kita sering diingatkan oleh sebuah ungkapan yang masyhur: “Bekerjalah
di dunia seakan-akan kamu tidak akan mati selamanya, dan beribadahlah
seakan-akan kamu akan mati esok hari.” Sebuah kalimat yang sederhana,
tetapi menyimpan makna yang sangat luas tentang bagaimana seorang Muslim menata
langkah di dunia tanpa kehilangan arah menuju akhirat.
Ungkapan
ini bukan sekadar dorongan untuk bekerja keras. Ia adalah pesan untuk menata
keseimbangan, agar setiap pencapaian dunia berakar pada niat yang benar dan
setiap ibadah tidak meninggalkan tanggung jawab kehidupan.
1. Dunia Bukan Tempat Berleha-Leha
Islam
tidak pernah mengajarkan umatnya untuk malas. Rasulullah ﷺ adalah sosok pekerja keras. Para sahabat adalah contoh manusia
yang menggerakkan peradaban dengan tangan mereka sendiri. Maka, bekerja
sungguh-sungguh adalah bagian dari syukur. Dunia ini adalah ladang. Siapa
menanam dengan sungguh-sungguh, dialah yang akan panen dengan lapang.
Bekerja
seakan-akan kita tidak mati berarti:
- gunakan
waktu sebaik-baiknya,
- berjuang
dengan penuh tanggung jawab,
- dan
jangan membatasi potensi hanya karena takut gagal atau takut tidak sempat.
Orang
yang bekerja seperti ini akan meninggalkan jejak, bukan sekadar rutinitas.
2. Tetapi Jangan Terlena
Meski
kita bekerja seolah tidak pernah mati, kita tetap manusia yang pasti akan
kembali kepada Allah. Karena itu kita diajar: “Beribadahlah seakan-akan kamu
akan mati esok hari.” Ini penanda bahwa dunia bukan tujuan akhir.
Maka
sibuklah, namun jangan lupa zikir; berjuanglah, namun jangan hilang arah;
wujudkan cita-cita, namun jangan terputus dari Yang Maha Mengatur cita-cita.
3. Bekerja Sebagai Bentuk Ibadah
Dalam
Islam, kerja bukan hanya urusan perut dan dompet. Ia bisa berubah menjadi
ibadah ketika:
- niatnya
benar,
- caranya
halal,
- dan
hasilnya membawa manfaat.
Karena
itu, ungkapan di atas juga menegaskan: jadikan dunia tempat berkarya, bukan
tempat berpaling dari Allah.
4. Jejak yang Ditinggalkan
Orang
yang bekerja seakan-akan hidup selamanya bukanlah orang yang tamak pada dunia,
tetapi orang yang serius memanfaatkan waktu untuk menghadirkan manfaat. Ia
ingin ketika ia tiada, amalnya masih berjalan. Pikirannya panjang. Pandangannya
luas. Karyanya tidak berhenti pada dirinya sendiri.
Mereka
inilah yang kelak disebut sebagai orang-orang yang meninggalkan amal jariyah—kebaikan
yang terus mengalir meski tubuh telah tiada.
5. Kesimpulan
Ungkapan
ini mengajak kita untuk menjadi pribadi dengan dua kekuatan:
- Kekuatan
dunia, yaitu
kesungguhan dalam usaha.
- Kekuatan
akhirat,
yaitu kesiapan menghadapi kematian kapan pun datang.
Keduanya
tidak bertentangan. Justru, ketika seorang hamba kuat di dua sisi ini, ia
menjadi hamba yang matang: bekerja tanpa malas, beribadah tanpa lalai.
Bekerjalah,
seolah hidupmu panjang. Beribadahlah, seolah waktumu singkat. Di antara dua
kesadaran itu, seorang Muslim menemukan kejernihan dalam menjalani dunia dan
kemantapan dalam menapaki jalan menuju akhirat.
