Ada satu cara memandang hidup yang mampu membuat kita lebih sadar,
lebih tulus, dan lebih bermakna: membayangkan bahwa hari ini adalah hari
terakhir kita. Bukan untuk menakut-nakuti diri, tapi untuk mengingatkan bahwa
waktu adalah amanah yang tak pernah menunggu.
Dalam Islam, para ulama sering menasihati, “Jadilah engkau di dunia
ini seakan-akan orang asing atau seorang musafir.” Nasihat ini bukan sekadar
kalimat indah. Ia adalah pengingat bahwa hidup terlalu singkat untuk dihabiskan
dengan kelalaian, amarah, atau penyesalan yang tak berguna.
Jika hari ini adalah hari terakhirmu, kamu mungkin akan:
- Lebih lembut pada dirimu sendiri.
- Lebih mudah memaafkan orang lain.
- Lebih berhati-hati dalam berkata.
- Lebih serius dalam memperbaiki shalat, menguatkan doa, dan membersihkan hati.
- Lebih menghargai orang tua, teman, dan semua yang hadir dalam hidupmu.
Hidup seperti ini bukan berarti kita tidak boleh bermimpi besar.
Justru sebaliknya: kita merawat mimpi dengan penuh kesadaran bahwa setiap
langkah harus bernilai, setiap usaha harus ikhlas, dan setiap niat harus
bersih.
Karena kalau besok benar-benar tidak datang, setidaknya hari ini
kita sudah menjadi manusia terbaik versi diri kita yang lebih dekat dengan
Allah, lebih bermanfaat bagi sesama, dan lebih damai dengan perjalanan hidup.
Dan kalau besok ternyata Allah masih memberi satu hari lagi, itu
bukan kebetulan. Itu tanda bahwa kita masih diberi kesempatan untuk
memperbaiki, memperbaiki, dan memperbaiki.
Hidup seolah-olah hari ini adalah hari terakhir bukan tentang ketakutan,
tapi tentang kesadaran bahwa waktu adalah cahaya, dan kita diberi tugas untuk
tidak menyia-nyiakannya.
