"Sejumput Doa di Bawah Cahaya Lampu Redup"

 

Di sebuah pesantren di ujung pulau, malam selalu jatuh dengan tenang. Di antara suara jangkrik dan desir angin, seorang santri bernama Rafi duduk bersimpuh di depan kitabnya. Lampu kamarnya redup, dan tikar tempat ia belajar sudah mulai usang. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada nyala semangat yang tak pernah padam.

Setiap malam, Rafi membaca kitab sambil menahan kantuk. Ia tahu, jalan menuju ilmu bukan jalan yang nyaman. Ada lapar yang harus ditahan, ada rindu pada rumah yang harus disembunyikan, dan ada air mata yang tak perlu ditunjukkan.

Suatu hari, hujan deras mengguyur pesantren. Atap bocor, air merembes di kamar kecilnya. Rafi menadahnya dengan ember, lalu tetap melanjutkan hafalannya. Teman-temannya sempat berkata,

“Kamu gak capek, Fi? Istirahat dulu lah.”

Rafi tersenyum,

“Kalau aku berhenti sekarang, mungkin ilmu juga akan berhenti datang.”

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Perlahan, keikhlasan itu membuahkan hasil. Ia mulai dipercaya untuk mengajar adik kelasnya. Ia sadar, bukan nilai tinggi yang jadi ukuran keberhasilan, tapi keberkahan dari ilmu yang diamalkan.

Di malam wisuda, ketika semua santri mengenakan jubah putih, Rafi menatap ke langit. Ia teringat betapa beratnya dulu ia hampir menyerah. Kini ia tahu — perjuangan santri bukan hanya soal belajar, tapi soal mendidik hati untuk tetap tawadhu, sabar, dan yakin bahwa Allah tak pernah meninggalkan hambanya yang bersungguh-sungguh.

Dan di bawah cahaya lampu yang dulu temaram, Rafi berbisik pelan,

“Ya Allah, jika Engkau tak menjadikanku orang besar, jadikan aku orang yang berguna.”

Post a Comment

Previous Post Next Post