Dalam Islam, masa pembentukan seorang anak bukan hanya tentang memenuhi kecerdasan pikirannya, tetapi jauh lebih dalam: menjaga fitrah imannya agar tetap bersih, tenang, dan terpaut kepada Allah sejak dini. Dan di tengah berbagai sistem pendidikan modern yang semakin rasional dan kompetitif, pesantren tetap berdiri sebagai tempat yang paling diyakini mampu membentuk nilai-nilai Islam secara utuh — bukan hanya pengetahuan, tetapi pembiasaan, suasana, dan ruh yang hidup.
Sebab di pesantren, agama tidak diajarkan sebagai mata pelajaran — agama dihidupkan sebagai udara. Anak tidak hanya disuruh paham, tapi dilatih untuk menjalani. Waktunya diikat dengan adzan, adab mengiringi setiap gerak, belajar bukan hanya di kelas, melainkan juga melalui cara guru makan, cara berbicara, cara menghormati sesama, hingga cara bersyukur atas hal terkecil. Inilah yang tidak selalu diberikan oleh pendidikan formal: lingkungan yang totalitas.
Masyarakat Islam hingga hari ini masih memercayakan masa paling sensitif dalam hidup seorang anak — yaitu masa pembentukan karakter dan orientasi hidup — kepada pesantren. Karena pesantren tidak hanya menumbuhkan ilmu, namun juga mengokohkan pondasi iman, menata akhlak, menumbuhkan kesederhanaan, dan perlahan membangun kedewasaan spiritual. Apa yang ditanamkan di sini tidak hanya membentuk kecerdasan hari ini, tetapi arah hidup hingga masa depan.
Maka tidak berlebihan bila dikatakan: bila seseorang ingin anaknya tumbuh saleh sebelum tumbuh pandai, ingin anaknya punya arah sebelum punya ambisi, ingin anaknya mengenal Rabb sebelum mengenal dunia — pesantren adalah pilihan yang masih dipercaya sebagai tempat paling aman untuk masa pembentukan itu.
