Dalam beberapa waktu belakangan,
beredar narasi bahwa ada upaya sistematis atau bergelombang untuk “menyerang”
pesantren. Tuduhan ini bisa berupa mispersepsi, interpretasi berlebihan, maupun
ketidakpastian fakta. Berikut beberapa aspek yang perlu dilihat lebih jernih:
1. Arus narasi dan ketakutan
kolektif
Isu “pesantren diserang” sering
muncul ketika ada kebijakan pemerintah, liputan media, atau polemik
sosial-keagamaan yang menyentuh aspek pengaturan pesantren (izin bangunan,
regulasi sekuritas, anggaran, pengawasan). Dalam konteks tersebut, pesantren—karena
statusnya masyarakat sipil berbasis agama—mudah menjadi subjek kekhawatiran
kelompok bahwa “penguasa negara” berniat memangkas otonomi atau daya gerak
lembaga keagamaan.
Kekhawatiran ini bisa diperparah
oleh misinformasi: misalnya, foto atau kabar yang beredar luas tetapi belum
jelas konteksnya, dikaitkan dengan politik, “intervensi negara”, atau “agresi
ideologi tertentu”. Dalam level media sosial, narasi semacam itu mudah menyebar
dan memicu reaksi emosional.
2. Kasus-kasus konkret yang menjadi
titik sorotan
Beberapa kasus yang belakangan
mengundang perhatian publik:
Kasus pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo: ambruknya mushala di Ponpes Al-Khoziny yang menewaskan puluhan santri menjadi sorotan nasional. Tragedi ini memunculkan perhatian publik terhadap regulasi bangunan pesantren dan pengawasan teknis konstruksi.
Meskipun ini bukan “serangan” dalam
arti sengaja menghancurkan pesantren, tetapi insiden ini seringkali dikaitkan
oleh sebagian pihak dengan lemahnya regulasi atau pengabaian terhadap
keselamatan pesantren.
Kekerasan internal atau bullying:
misalnya, santriwati di Sleman yang diduga mengalami perundungan di pesantren
sehingga trauma.
detikcom
Dan kasus santri yang kabur dari pesantren di Jombang karena mengaku dibully (meskipun ada pihak yang menyebut pengakuan itu dibesar-besarkan).
Kasus-kasus semacam itu bisa memicu
narasi bahwa lingkungan pesantren “berbahaya” atau “tertutup” — yang kemudian
bisa dipakai sebagai narasi bahwa pesantren sedang “diserang” moral atau
institusional.
Isu misinformasi: ada juga konten
yang menuduh pesantren tertentu “disegel polisi”, atau bahwa ada penegakan
hukum yang bersifat represif terhadap pesantren tertentu. Beberapa di antaranya
disebut sebagai disinformasi. Misalnya, kasus “Pondok Pesantren Al-Zaytun
Disegel Polisi” terbantah sebagai disinformasi.
Kementerian Komunikasi dan Digital
Ini menunjukkan bahwa sebagian
tuduhan “serangan” mungkin lahir dari kabar bohong atau penafsiran keliru
terhadap interaksi hukum atau regulasi.
3. Realitas regulasi dan kontrol
negara terhadap pesantren
Penting diingat bahwa pesantren
sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan tetap berada dalam kerangka hukum dan
regulasi negara. Ini berarti:
Bangunan pesantren harus memenuhi
standar teknis, izin bangunan, sarana keselamatan, sesuai peraturan lokal.
Pemerintah memiliki kewenangan
pengawasan keamanan, keselamatan publik, kesehatan, dan infrastruktur yang
harus dipenuhi semua institusi, termasuk pesantren.
Pengawasan itu tidak sama dengan
“penyiksaan aturan”, melainkan mekanisme regulatif agar lembaga publik,
termasuk lembaga keagamaan, tidak menjadikan dirinya sebagai zona tak
terkontrol di luar hukum.
Bila regulasi dilaksanakan dengan
transparan dan adil, itu bukan serangan melainkan bentuk tanggung jawab negara
terhadap keselamatan dan kepastian hukum.
Namun kenyataannya, regulasi
seringkali diimplementasikan dengan ketidakseragaman: di satu daerah bisa
sangat ketat, di daerah lain longgar. Ada persoalan kapasitas pemerintah
daerah, sumber daya, serta pemahaman teknis terhadap regulasi pesantren.
Karena itu, bila muncul regulasi
atau penertiban terhadap pesantren yang dianggap “keras”, “berlebihan”, atau
“diskriminatif” — maka wajar jika muncul kritik dan tudingan adanya niat
menyerang. Tapi perlu diuji sejauh mana kebijakan itu bersifat rasional, adil,
dan sesuai aturan.
4. Menyikapi tuduhan: langkah kritis
dan konstruktif
Beberapa prinsip penting yang bisa
dijadikan pijakan agar tudingan “serangan terhadap pesantren” tidak menjadi
konflik destruktif:
Uji fakta (fact-checking): ketika
muncul narasi “pesantren diserang”, perlu dicek: apa bentuk serangannya? Apakah
ada dokumen kebijakan, keputusan resmi, surat perintah? Apakah kabar tersebut
akurat konteksnya?
Keterbukaan lembaga pesantren:
pesantren harus terbuka terhadap dialog, audit publik, dan pemenuhan standar
publik (keselamatan, teknis bangunan, sanitasi). Keterbukaan mengurangi ruang
tuduhan buruk.
Kolaborasi pesantren dan pemerintah
lokal: ada dialog regulatif antara pemerintah (kota, kabupaten) dan pimpinan
pesantren, agar regulasi diterapkan dengan pembinaan, bukan represif.
Pemberdayaan sumber daya pesantren:
banyak pesantren kecil yang kekurangan dana untuk bangunan aman atau
infrastruktur. Bantuan teknis atau dana hibah bisa membantu agar pesantren
memenuhi regulasi tanpa beban berlebih.
Pengawasan dari komunitas: ormas
keagamaan, masyarakat lokal, dan civil society dapat ikut memantau agar
regulasi terhadap pesantren tidak disalahgunakan sebagai alat represi.
Pesan Moral dan Harapan di Hari
Santri 2025
Di tengah polemik tudingan “serangan
terhadap pesantren”, Hari Santri 2025 menjadi momentum reflektif:
Santri sebagai penjaga bangsa dan
agama
Santri tidak hanya sebagai penghafal
kitab atau penjaga tradisi, tetapi juga aktor perubahan: dalam pendidikan, teknologi,
sosial, dakwah, dan pembangunan karakter bangsa. Tema “Mengawal Indonesia
Merdeka Menuju Peradaban Dunia” menunjukkan bahwa santri tidak boleh terisolasi
dari tantangan zaman.
Jaga marwah pesantren dan kehormatan
institusi
Pesantren sebagai lembaga memiliki
kewajiban menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Bila institusi
pesantren hidup dengan baik — aman, tertib, bermutu — maka tuduhan akan
“serangan” menjadi lebih sulit dipakai.
Kritis terhadap narasi yang mudah
menyulut kecemasan
Waspadai narasi provokatif yang
menyulut ketakutan kolektif. Berita atau post yang kontekstualnya kabur
sebaiknya dilihat ulang sebelum dipercaya atau disebarluaskan.
Kerja sama negara dan umat dalam
menjaga ekosistem pesantren sehat
Negara memiliki tanggung jawab
akomodatif menuju ekosistem yang memungkinkan pesantren tumbuh dengan aman dan
berdampak positif. Umat dan masyarakat juga memiliki peran mengawal agar
hubungan pesantren–negara berjalan adil dan harmonis.
