
Setiap
bulan Agustus, langit Indonesia dihiasi bendera merah putih. Lagu-lagu
perjuangan menggema, dan rasa nasionalisme menggeliat. Namun, tahun ini terasa
berbeda. Di tengah semarak perayaan kemerdekaan, ada suara lirih yang muncul
dari lubuk hati rakyat: "Apakah kemerdekaan ini benar-benar telah kita
miliki?"
Indonesia
kini tidak sedang baik-baik saja. Korupsi kembali merajalela, merampas hak-hak
rakyat kecil secara diam-diam maupun terang-terangan. Ketika kursi kekuasaan
lebih sibuk dijadikan ladang kekayaan pribadi, dan suara keadilan diredam
dengan senyuman palsu, maka tak heran jika sebagian rakyat merasa kecewa dan
apatis.
Beberapa
bahkan meluapkan keresahannya dengan mengganti simbol-simbol kebangsaan:
menggambar bendera One Piece sebagai lambang pencarian keadilan yang tak
kunjung ditemukan, atau menyanyikan ulang lagu “Indonesia Raya” dengan lirik
satire yang menggambarkan kebobrokan moral para pejabat. Ini bukan bentuk
pengkhianatan, tetapi jeritan batin karena cinta yang dikhianati oleh mereka yang
semestinya melindungi.
Pandangan Islam: Kemerdekaan adalah
Amanah
Islam
tidak hanya mengajarkan bagaimana memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga
bagaimana menjaganya. Dalam surah Al-Hajj ayat 41, Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka
bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”
Kekuasaan
adalah amanah, bukan alat. Kemerdekaan adalah titipan, bukan panggung untuk
menindas. Ketika para pemimpin lalai dari prinsip ini, maka Islam mengajarkan
umat untuk tetap berada di jalan amar ma’ruf nahi munkar, menyuarakan kebenaran
meski dengan suara yang lemah.
Korupsi dan Perampasan Hak dalam
Timbangan Syariat
Korupsi
dalam Islam termasuk dosa besar. Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap dalam perkara
hukum.” (HR. Abu
Dawud)
Lebih
dari itu, merampas hak rakyat, menzalimi yang lemah, dan menyalahgunakan
wewenang adalah bentuk penghianatan terhadap amanah yang dipertanggungjawabkan
di akhirat kelak.
Jangan Biarkan Api Nasionalisme
Padam
Islam
tidak melarang mencintai tanah air. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ menangis saat harus meninggalkan Makkah dan berkata: “Wahai
Makkah, engkau adalah negeri yang paling aku cintai, andai bukan karena aku
diusir darimu, aku takkan pergi.”
Cinta
kepada Indonesia bukan sekadar mengibarkan bendera, tetapi membela nilai-nilai
yang terkandung dalam merah putih: keberanian dan kesucian. Jika saat ini
negara dibajak oleh kepentingan pribadi, maka kita harus berjuang—bukan dengan
mengganti simbol, tapi dengan menghidupkan kembali kesadaran kolektif dan nilai
keadilan.
Penutup: Kembali ke Arah yang Benar
Tujuhbelasan
tahun ini bukan hanya momentum upacara dan lomba-lomba. Ini adalah saat untuk
merenung. Jangan biarkan kekecewaan membuat kita melepas cinta kepada negeri
ini. Justru karena cinta itulah, kita berani bersuara, mengoreksi, dan terus
mengawal nilai-nilai perjuangan.
Mari
kembali kepada prinsip Islam: kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Sebab
Indonesia tidak akan kuat hanya dengan pidato dan parade. Ia butuh rakyat yang
takut pada Allah, dan pemimpin yang sadar bahwa setiap kebijakan akan
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.