Porsema Telah Usai, Saatnya Kita Pulang ke Rumah yang Bernama Pesantren



Porsema telah rampung.


Riuh sorak sorai perlombaan telah menjadi kenangan. Lapangan-lapangan kembali sunyi, dan spanduk-spanduk mulai dilipat. Kita semua tahu, Porsema bukan sekadar ajang adu bakat dan prestasi. Ia adalah wadah silaturahmi, tempat kita saling mengenal, saling belajar, dan menanam semangat ukhuwah.


Namun kini, setelah euforianya memudar, ada panggilan lain yang mengetuk hati. Panggilan yang tak datang dengan tepuk tangan, tapi dengan kelembutan—yang mengajak kita kembali menengok satu tempat yang tak pernah berhenti mendoakan: pesantren.


Pesantren: Tempat yang Tak Sekadar Mengajarkan Ilmu

Di sana, tak hanya ada kitab dan pengajian. Tapi juga ada kesabaran yang dipupuk setiap hari, kesungguhan yang ditumbuhkan pelan-pelan, dan cinta yang tak pernah diminta balasnya. Pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi tempat untuk bertumbuh—dengan kejujuran, disiplin, dan akhlak.


Saat kita mondok, kita sebenarnya sedang dipeluk oleh doa orang tua yang ingin anaknya selamat dunia akhirat. Kita sedang dijaga oleh guru yang menatap kita dengan harapan besar, meski sering tak kita sadari. Kita sedang ditempa bukan hanya untuk pintar, tapi untuk menjadi pribadi yang membawa manfaat.


Karena Panggilan Mondok Itu Penuh Kasih

Kadang kita bertanya, “Mengapa harus mondok? Mengapa tidak di rumah saja?” Tapi mungkin jawaban itu tidak selalu bisa dijelaskan. Karena panggilan ke pesantren bukan sekadar soal tempat. Ia soal jalan hidup. Soal pilihan untuk ditemani cahaya ilmu dan keberkahan.


Mondok bukan berarti jauh dari keluarga, tapi justru sedang mendekat kepada Allah bersama keluarga baru. Ada teman seperjuangan. Ada guru tempat bertanya. Ada malam-malam panjang yang sunyi, yang kelak akan menjadi kenangan paling indah dalam hidup kita.


Kini Waktunya: Dari Lapangan Kemenangan ke Jalan Keberkahan

Porsema telah mengajarkan kita semangat. Kini, pesantren mengajak kita menyempurnakan semangat itu dengan ketekunan. Dari porsema yang penuh gerak, kita menuju pesantren yang penuh arah.


Mari kita pulang ke tempat di mana hati kita bisa tumbuh tanpa harus menjadi orang lain. Tempat di mana tangisan jadi doa, rindu jadi kekuatan, dan lelah jadi ladang pahala.


Selamat datang di pondok. Tempatmu dibentuk, bukan dipaksa. Dikasihi, bukan dinilai.






Post a Comment

Previous Post Next Post