Kemaren Masih Di Sini, Sekarang Tak Lagi di Rumah, Tapi Selalu di Doa


Angin sore mengantar langkah-langkah kecil itu menuju pelataran pesantren. Di sampingnya, aku berjalan pelan, menahan gemuruh di dada yang tak sempat aku uraikan dengan kata-kata.


Tasnya tak seberapa berat. Tapi yang terasa mengganjal justru sesuatu yang tak kasat mata: beratnya melepaskan.


Ini bukan pertama kalinya aku berpisah dengannya. Tapi ini pertama kalinya aku harus meninggalkannya dalam sunyi yang tidak lagi bisa kutenangkan dengan pelukan.


Beberapa hari sebelum ini, aku masih melihatnya duduk di meja makan, tergesa menelan sarapan. Kadang mengeluh, kadang bercanda, kadang menatapku sejenak sebelum pergi sekolah.


Tapi hari ini, semua itu terasa seperti potongan mimpi yang harus aku lepaskan. Karena aku tahu, ada panggilan yang lebih tinggi dari sekadar kenyamanan: panggilan untuk menuntut ilmu, untuk mendewasa lebih awal.


Dan pesantren—dengan segala keheningannya, kedisiplinannya, dan langkah-langkah sunyinya—adalah tempat yang kami percayai bersama.


Meski jauh dariku, aku tahu, anakku tak pernah jauh dari penjagaan-Nya.


Malam nanti, kamar ini akan lebih sepi. Tidak ada lagi ketukan kecil yang memintaku menemani belajar. Tidak ada suara langkah kecil menuju dapur. Hanya akan ada doa yang panjang, yang setiap malam akan kusematkan untukmu, Nak. Agar hatimu kuat, dan niatmu tetap lurus.


Aku tahu, kau mungkin akan menangis diam-diam. Sama seperti aku.


Tapi ketahuilah, tidak ada yang lebih menyembuhkan daripada menangis dalam sujud, di antara baris-baris doa yang mengalir di pesantren itu.


Nak, jangan takut sepi. Karena justru dari kesunyian itu Allah sering bicara. Dan dari kejauhan ini, aku tak pernah absen mengirim doa.


Bila suatu hari kau merasa lelah, ingatlah, kau sedang menjalani pilihan yang besar. Kau sedang menempa diri, bukan untuk hebat di hadapan manusia, tapi untuk kokoh di hadapan Tuhan.


Dan bila kelak kau kembali, kau tak lagi sekadar anakku. Tapi engkau akan kembali sebagai cahaya kecil yang tumbuh menjadi penerang bagi dunia.


Pergilah, Nak. Bawalah namaku dalam sujud-sujudmu. Aku tak menginginkan apa-apa, selain engkau tumbuh menjadi manusia yang takut pada Allah, mencintai ilmu, dan bermanfaat bagi sesama.


Pesantren akan menjadi rumah barumu, dan doa akan tetap menjadi selimutmu yang paling hangat.



Post a Comment

Previous Post Next Post