Aku juga ingin
seperti dia.
Yang diamnya
berdzikir, langkahnya membawa berkah.
Yang sujudnya
panjang, menyebut nama orangtuanya dalam linangan air mata.
Yang sabarnya
bukan karena lemah, tapi karena yakin Allah selalu dekat di tengah lelah.
Maka aku
putuskan untuk mondok.
Bukan karena
tak betah di rumah,
tapi karena
ingin hatiku betah di hadapan Allah.
Bukan karena
ikut-ikutan teman,
tapi karena
ingin ikut dalam rombongan yang mencari keridhaan Tuhan.
Aku memilih
Pesantren Hasan Jufri.
Tempat di mana
ilmu bukan sekadar hafalan,
tapi jadi
cahaya yang menuntun dalam gelap kehidupan.
Tempat di mana
aku diajak mencintai Al-Qur’an,
bukan hanya
dengan lisan, tapi juga dengan amal dan keteladanan.
Aku ingin
sukses—iya, tentu.
Tapi bukan
sukses yang hanya sebatas dunia.
Aku ingin
berhasil dalam segala bentuk kebaikan,
yang disukai
langit, dan dibanggakan oleh Rasulullah.
Di pondok ini
aku belajar diam saat marah,
merendah saat
bisa tinggi,
mengalah bukan
karena kalah,
tapi karena
itulah yang diajarkan oleh para pewaris nabi.
Aku tahu, jalan
ini tak mudah.
Rindu rumah,
lelah, jatuh, dan kadang menangis dalam diam.
Tapi setiap
peluhku adalah persembahan.
Setiap air
mataku adalah penguat tekad.
Biar aku tumbuh
lambat—
asal tumbuhku
dalam.
Dalam adab.
Dalam iman.
Dalam cinta
kepada Tuhan.
Aku juga ingin
seperti dia…
yang hidupnya
untuk memberi,
yang matinya
penuh doa,
yang jejaknya
dirindukan bumi,
dan namanya
dikenal oleh langit.
Maka aku
mondok.
Bukan karena
aku sudah baik,
tapi karena aku
ingin diperbaiki oleh kebaikan.
Aku ingin
pulang,
dengan wajah
yang dikenali malaikat,
dan hati yang
siap menghadap Tuhan.