Ada
satu titik dalam perjalanan panjangku di pesantren di mana aku mulai banyak
berpikir. Tentang waktu, tentang arah, dan tentang keputusan. Aku sudah cukup
lama mondok. Aku tumbuh di balik dinding-dinding asrama, melewati hari-hari
dengan jadwal yang padat, suara adzan yang jadi penanda waktu, dan suasana
malam yang penuh dzikir dan hafalan. Dari sanalah kedewasaanku dibentuk — bukan
hanya dari pelajaran kitab, tapi dari sabar, tanggung jawab, dan cara memahami
hidup.
Namun
semakin lama, muncul perasaan ingin berhenti. Bukan karena lelah belajar, tapi
karena aku merasa ada jalan lain yang juga ingin aku tempuh. Aku ingin melihat
dunia di luar pondok, belajar dengan cara yang berbeda, mungkin lewat
pengalaman hidup yang lebih luas. Tapi setiap kali keinginan itu muncul, orang
tuaku selalu menatapku dengan tenang, lalu berkata, “Nak, belum saatnya kamu
berhenti.”
Awalnya
aku merasa mereka tidak mengerti. Aku sudah cukup dewasa, pikirku. Aku tahu apa
yang aku mau. Tapi ternyata, mereka melihat dari sudut yang lebih dalam
daripada yang aku pahami. Mereka tidak sekadar ingin aku tetap mondok, tapi
ingin memastikan aku benar-benar matang — bukan hanya dalam ilmu, tapi juga
dalam arah hidup. Mereka tahu, berhenti mondok itu bukan hal kecil; di baliknya
ada risiko kehilangan suasana, kehilangan arah, bahkan kehilangan barokah.
Lama-lama
aku mengerti, bahwa orang tuaku tidak sedang menahan kebebasanku, mereka sedang
menjaga masa depanku. Karena di mata mereka, mondok bukan hanya tentang belajar
di ruang kelas, tapi tentang membentuk karakter, menanamkan nilai, dan
memperkuat hubungan dengan Allah.
Dan
aku sadar satu hal: berhenti mondok memang mungkin suatu hari nanti akan
terjadi, tapi berhenti belajar — tidak akan pernah. Karena ilmu bukan hanya
tentang duduk di majelis dan membuka kitab, tapi tentang bagaimana aku
melangkah di dunia dengan cahaya yang pernah kutemukan di pesantren ini.
Maka,
jika saat ini aku belum diizinkan berhenti mondok, mungkin itu karena Allah
masih ingin aku menumbuhkan sesuatu di sini — mungkin kesabaran, mungkin
keikhlasan, atau mungkin pemahaman yang lebih luas tentang arti belajar itu
sendiri.
Aku
tidak berhenti belajar. Aku hanya sedang belajar lebih dalam — tentang makna
sabar, tentang arti ridha, dan tentang bagaimana cinta orang tua seringkali
menyamar dalam bentuk larangan.
Apakah
kamu ingin saya buatkan versi yang lebih pendek dan bisa digunakan untuk
caption video juga?
