
Ada
masa dalam hidup ketika langkah terasa berat, meski semua tampak baik-baik
saja. Saat itulah hati mulai bertanya: “Untuk apa semua ini?” Dunia terus
berlari, tapi jiwa mulai kehilangan arah.
Di
tengah hiruk-pikuk yang menggoda, kita butuh ruang yang membuat kita diam,
merenung, lalu pulih.
Pesantren
bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah yang mengajarkan kita arti cukup,
arti tenang, dan arti sujud yang dalam. Di sana, dunia tak lagi memegang
kendali. Hati dituntun untuk kembali mengenal Tuhannya, bukan hanya mengejar
dunia yang fana.
Ketika
hati mulai lelah menuruti tuntutan citra, gelar, dan gengsi—pesantren mengajak
kita kembali ke akar:
“Menjadi
manusia yang tak hanya hidup, tapi menghidupkan.”
Karena
Pesantren Tidak Pernah Sekadar Tempat, Tapi Cahaya yang Merangkul
Di
tempat ini, kita belajar bahwa kesederhanaan bukan kekurangan, tapi pintu
menuju keberkahan.
Bahwa
dzikir dalam sunyi lebih menenangkan daripada sorakan dunia.
Bahwa
memaafkan lebih mulia daripada menang.
Dan
ketika kepekaan dalam hati mulai tumbuh—di sinilah motivasi sejati itu datang:
bukan dari sorakan, bukan dari angka-angka, tapi dari sepotong kalimat guru,
dari heningnya malam, dari pelajaran yang disampaikan dengan cinta dan
keteladanan.
Pulanglah...
Sebelum Dunia Membekukan Hati
Pesantren
adalah rumah—bukan karena bangunannya, tapi karena ia menumbuhkan kembali jiwa
yang nyaris layu.
Karena
di tempat ini, kita tidak diajarkan untuk menjadi siapa-siapa, tapi untuk
menjadi hamba yang tahu ke mana harus pulang.
Dan
saat dunia kembali menyesakkan…
Pesantren
akan selalu menjadi rumah. Rumah yang menata hati, menyejukkan jiwa, dan
membisikkan kembali arah yang sempat terlupa.