Sepasang Sandal untuk Hari Raya

 


Namanya Amar. Usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah desa kecil di pinggiran kota. Ayahnya telah wafat ketika ia masih balita. Sejak itu, ibunya menjadi segalanya bagi Amar—tempat berlindung, belajar, sekaligus pengganti tangan ayah yang hilang.

Menjelang Idulfitri, semua anak-anak di kampungnya bersorak gembira. Baju baru, sepatu mengkilap, kue-kue yang menumpuk. Tapi tidak bagi Amar. Ia masih mengenakan sandal usang, baju warisan dari kakaknya, dan belum satu pun kue tersaji di meja rumahnya.

Suatu malam, ia mendekati ibunya dan bertanya pelan, “Bu, nanti waktu salat Ied… Amar boleh ikut, kan?”

Ibunya mengangguk, meski hatinya pilu. Ia tahu, anaknya pasti malu karena tak punya baju atau sandal baru seperti teman-temannya. Tapi Amar tak mengeluh. Ia hanya ingin ikut mencium tanah di pagi hari raya, sebagaimana dulu ia lihat ayahnya melakukannya.

Keesokan harinya, ibu Amar terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia mengeluarkan selembar uang terakhir yang terselip di dalam mukena—uang yang tadinya ingin ia simpan untuk membeli beras. Tapi demi melihat wajah anaknya bersinar walau hanya sebentar, ia berjalan kaki ke pasar dan membeli sepasang sandal plastik berwarna biru.

Ketika Amar bangun dan melihat hadiah kecil itu, matanya berkaca-kaca.

“Ini… buat Amar, Bu?”

Ibunya tersenyum dan mengangguk. “Selamat lebaran, Nak.”

Hari itu, Amar berjalan ke masjid dengan penuh rasa bangga. Sandalnya mungkin murah, bajunya mungkin lusuh, tapi hatinya… lebih megah dari istana.

#Anak yatim bukan hanya butuh bantuan, tapi juga butuh penghargaan dan cinta. Kadang, sepasang sandal sederhana bisa menjadi hadiah paling mulia jika diberikan dengan penuh kasih sayang.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post