Di sebuah desa kecil di kaki
gunung, tinggal dua sahabat bernama Raka
dan Ilham. Mereka bersahabat sejak
kecil. Meski berbeda latar belakang—Raka berasal dari keluarga sederhana,
sedangkan Ilham anak seorang kepala desa—mereka tak pernah terpisahkan. Dari
bermain layangan di sawah, memanjat pohon jambu, hingga belajar bersama di bawah
pohon beringin tua, semua mereka lakukan bersama.
Namun
saat mereka duduk di bangku SMA, kehidupan mulai menguji persahabatan mereka.
Ilham
mendapat tawaran beasiswa ke kota untuk melanjutkan sekolah di sekolah
unggulan. Ia ragu. Raka menyemangatinya, meski hatinya berat. “Pergilah, Ham.
Kamu punya kesempatan yang besar. Jangan pikirkan aku, kita pasti tetap
sahabat.”
Ilham
pun pergi. Hari-hari berlalu, dan mereka mulai jarang berkomunikasi. Raka
bekerja membantu ayahnya bertani, sementara Ilham sibuk belajar dan perlahan
mulai akrab dengan dunia kota. Jarak di antara mereka terasa semakin jauh.
Suatu
hari, desa mereka dilanda banjir besar. Rumah Raka rusak parah. Ilham, yang
saat itu sedang menghadapi ujian akhir, mendengar kabar itu dan langsung pulang
ke desa tanpa pikir panjang.
Saat
ia tiba, ia melihat Raka sedang membersihkan lumpur dari rumahnya. Dengan mata
berkaca-kaca, Ilham memeluk sahabatnya.
“Aku
minta maaf, Rak. Aku terlalu tenggelam di dunia baruku, sampai lupa siapa yang
selalu mendukungku.”
Raka
tersenyum, meski tubuhnya letih. “Kamu datang sekarang. Itu cukup.”
Mereka
menghabiskan waktu bersama membantu warga desa. Ilham bahkan menggunakan uang
tabungannya untuk memperbaiki rumah Raka.
Beberapa
tahun kemudian, Ilham menjadi arsitek dan kembali ke desa untuk membangun
sekolah baru. Raka menjadi guru sukarelawan di sana. Mereka membuktikan bahwa
meski waktu dan jarak menguji, persahabatan
sejati tidak akan pernah pudar—ia hanya menunggu waktu untuk kembali
mekar.