Hati Orang Tua: Ketika Relaku Memasrahkan Anak ke Pesantren

 


Hari-hari terakhir Dzulhijjah menyusup bersama angin lembut yang mengantar takbir dari langit ke bumi. Hari Raya hampir tiba, dan di balik riuhnya persiapan qurban, ada satu perasaan yang berdesir diam-diam di dada seorang ibu dan ayah.

Anak mereka akan segera berangkat ke pondok.

Akan segera memulai kehidupan baru.

Akan segera menjadi santri.

Di ruang tamu rumah yang sederhana, seorang ibu mulai melipat baju anaknya dengan tangan gemetar. Di sudut kamar, seorang ayah memeriksa koper, memastikan semuanya cukup. Tapi sejatinya, mereka sedang merapikan perasaan. Mereka sedang meyakinkan diri bahwa melepas anak ke pesantren adalah bentuk cinta paling dalam—cinta yang rela melepaskan, bukan karena ingin menjauh, tapi agar sang anak lebih dekat dengan Allah.

Mengantarkan anak ke pondok tidak selalu mudah. Ada doa yang dipendam agar tidak tumpah menjadi tangis. Ada harapan yang disisipkan di antara pakaian dan kitab. Setiap ayah dan ibu tahu, anak yang dulu mereka ajarkan mengeja huruf hijaiyah kini akan duduk bersimpuh di hadapan para kiai. Anak yang dulu mereka tuntun ke masjid kini akan dituntun menuju kehidupan ilmu yang jauh lebih luas.

Hari Raya ini menjadi titik jeda. Saat semua keluarga berkumpul, ada satu senyuman yang disimpan dalam diam—senyuman orang tua yang siap merelakan. Bukan karena mereka tidak sayang, tapi justru karena mereka terlalu sayang.

Di pesantren nanti, anak-anak itu akan belajar hidup. Mereka akan bangun sebelum fajar, membersihkan kamar, antri mandi, menghafal ayat, menahan kantuk saat ngaji, dan menulis dengan pena yang mulai mengenal disiplin. Di sanalah kelak akan tumbuh pribadi-pribadi tangguh. Tapi semua itu takkan dimulai tanpa keberanian orang tua untuk melepas.

Wahai para orang tua yang sedang bersiap memondokkan anaknya, yakinlah… langkah berat itu akan menjadi saksi cinta di hadapan Allah. Air mata rindu kalian akan Allah ganti dengan kemuliaan. Setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap malam yang kalian lewati dengan doa, akan menjadi jalan tumbuhnya anak-anak yang saleh, yang suatu hari akan memanggil nama kalian dalam munajat mereka.

Wahai calon santri baru, peluklah ibumu dengan tulus. Ciumlah tangan ayahmu dalam-dalam. Karena merekalah yang dengan hati bergetar, tetap berkata:

"Nak, berangkatlah. Ini jalan terbaik untukmu. Bapak dan ibu ridha."

Hari raya hampir tiba. Setelah itu, dunia baru menanti.

Mari bersiap. Bawa kopermu, bawa restu dari rumahmu, dan siapkan hatimu.

Sebab di balik tirakat dan rindu yang akan datang, ada orang tua yang diam-diam terus berdoa, berharap anaknya menjadi bagian dari pejuang ilmu dan penjaga agama.

Post a Comment

Previous Post Next Post