Ada
saat-saat ketika dunia terasa seperti dinding yang terus merapat, membuat
langkah kita kecil, nafas kita pendek, dan harapan kita tampak tipis. Tapi jika
kita berhenti sejenak, merenung dengan hati yang jernih, kita akan menemukan
satu kenyataan yang lembut namun tegas:
Hidup
sebenarnya tidak sekejam itu.
Kadang
kitalah yang menanam duri di jalan yang sebenarnya datar.
Kita
mengira kita miskin, padahal tidak demikian.
Yang
miskin sering kali bukan harta—melainkan keberanian, syukur, dan cara pandang.
Sementara
rezeki Allah mengalir lewat banyak pintu, bukan hanya satu.
Stoikisme
dalam Keislaman: Tenang Bukan Pasrah, Tegas Bukan Keras
Dalam
Islam, konsep tidak dikuasai oleh sesuatu di luar diri sangat dekat dengan
prinsip stoikisme. Bukan berarti menghilangkan emosi, tetapi tidak membiarkan
emosi menjadi penguasa.
Islam
mengajarkan tabah, tawakkal, dan qana’ah—ketenangan yang bukan hasil putus asa,
melainkan hasil kedewasaan jiwa.
Stoik
berkata: “Kendalikan apa yang bisa kau kendalikan.”
Islam
melanjutkannya: “Dan serahkan sisanya kepada Allah, karena Dia tidak pernah
mengecewakan.”
Lalu
bagaimana cara kita menyikapi hidup agar tidak merasa diinjak keadaan?
Berikut
cara yang selaras dengan ajaran Islam, namun tetap bernapas seperti prinsip
stoikisme:
Kendalikan
reaksi, bukan realita.
Kita
tidak bisa menghapus badai, tapi kita bisa menguatkan hati.
Nabi
ﷺ mengajarkan laa taghdhob—jangan mudah
dikuasai amarah.
Hadapi
kenyataan apa adanya, bukan apa yang kita takutkan.
Banyak
orang menderita bukan karena yang terjadi, tetapi karena bayangan buruk yang
diciptakannya sendiri.
Syukuri
yang ada sambil mengupayakan yang belum ada.
Inilah
harmoni antara stoik dan Islam: menerima tanpa berhenti berusaha.
Bangun
kemampuan, bukan hanya keluhan.
Mungkin
hidup terasa sempit bukan karena dunia menutup ruangnya,
tetapi
karena kita tidak memperluas kapasitas diri.
Lepaskan
obsesi mengontrol hasil.
Kita
hanya bisa memilih jalan, bukan menulis takdir.
Hasil
adalah wilayah Allah. Tugas kita hanyalah berjalan dengan sungguh-sungguh.
Sabar
yang aktif, bukan sabar yang diam.
Sabar
dalam Islam adalah tetap bergerak, meski pelan.
Karena
diam tanpa usaha bukan sabar—itu menyerah.
Kesimpulannya?
Sering
kali hidup tampak kejam bukan karena Allah menutup pintu,
melainkan
karena kita berdiri terlalu lama di depan pintu yang tidak ingin kita buka.
Ketika
kita belajar mengendalikan diri, menenangkan hati, menguatkan tekad, dan
memperluas kemampuan, barulah kita sadar:
Hidup
ini luas.
Rezeki
itu banyak jalannya.
Dan
kita tidak selemah dugaan kita sendiri.
Kadang,
yang membuat dunia tampak gelap hanyalah pikiran yang kita biarkan redup.
Begitu
kita menyalakan cahaya keyakinan dan keberanian—
barulah
kita melihat bahwa hidup tak pernah sekejam itu.
Kita
hanya perlu kembali percaya bahwa Allah sudah memberi kita cukup
untuk
melangkah, bertahan, dan menang.
