Senja jatuh perlahan di balik pepohonan. Angin sore menyapu halaman pesantren yang mulai lengang. Di pojok asrama, seorang anak duduk diam, matanya menatap kosong ke arah gerbang yang tadi siang mengantarkan kepergian orang tuanya.
Namanya Faiq, santri baru yang masih bergulat dengan rasa sepi dan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat terjawab.
Dialog yang Tertinggal di Kepala Faiq
Faiq:
“Kenapa harus aku, Yah? Kenapa engkau tinggalkan aku di sini? Di tempat yang bahkan tidak kutahu siapa-siapa...”
Suara batinnya menggema dalam hati. Ia ingat, tadi siang, tepat sebelum Ayah melangkah pulang, ia sempat menarik ujung baju Ayah dan memberanikan diri bertanya.
Faiq:
“Yah... kenapa harus aku tinggal di sini? Mengapa engkau tidak membawaku pulang saja seperti dulu?”
Ayah terdiam sejenak. Lalu berjongkok di hadapannya. Menatap mata anaknya yang mulai berkaca-kaca.
Ayah:
“Faiq... Ayah tahu ini berat untukmu. Tapi percayalah, ini bukan karena Ayah ingin menjauh. Justru karena Ayah ingin kamu lebih dekat—dengan ilmu, dengan Allah.”
Faiq menggeleng, air matanya mulai jatuh.
Faiq:
“Tapi kenapa harus jauh? Di rumah kan aku juga bisa belajar, Yah...”
Ayah:
“Bisa, Nak. Tapi tak akan sama. Di pesantren, kamu belajar bukan hanya dari buku. Tapi dari kehidupan. Dari kesederhanaan. Dari kesabaran. Dari adzan subuh yang membangunkanmu, dari lantunan Qur’an yang menemanimu malam-malam. Dari air wudhu yang dingin yang menguatkanmu setiap pagi.”
Ayah memeluknya erat.
Ayah:
“Anakku, ini bukan tentang menjauh. Tapi tentang menguatkanmu. Kami ingin kamu tumbuh sebagai pribadi yang tahan terhadap dunia yang makin keras. Tempat ini akan mengajarkanmu bagaimana menjadi hamba yang tak mudah tumbang.”
Pesan yang Tertinggal
Kini, Faiq mulai mengerti, meski belum sepenuhnya. Ia mulai melihat bahwa setiap aturan di pesantren bukan untuk menyiksa, tapi membentuk. Setiap malam yang ia lalui tanpa pelukan Ibu, adalah malam yang membesarkan jiwanya.
Di pesantren, ia belajar bahwa rindu bisa berubah menjadi doa. Dan air mata bisa menjadi peneguh niat.
Renungan untuk Para Orang Tua
Menitipkan anak ke pesantren bukan sekadar menyerahkan mereka ke lembaga pendidikan. Tapi menitipkan masa depan mereka ke jalan yang lebih berliku, namun terang oleh ilmu dan berkah.
Anak-anak mungkin bertanya, bahkan protes, “Mengapa engkau tinggal aku di pesantren?”
Tapi suatu saat nanti, ketika mereka telah dewasa, berdiri di mimbar, menuntun jamaah, mengajarkan Al-Qur’an, atau menjadi cahaya di tengah gelap zaman—mereka akan berbalik bertanya dengan mata berkaca-kaca:
“Ayah, Ibu… mengapa kalian begitu baik padaku dulu… hingga menaruhku di pesantren?”
Dan saat itulah, doa orantua telah menemukan jawabnya.