Pengertian Halal Bihalal



Sekarang telah memasuki suasana hari raya Idul Fitri atau hari lebaran yang dinanti oleh umat islam di seluruh dunia. Tentunya di momen yang indah ini digunakan sebagai momen untuk memperbanyak bermaaf-maafan. Namun dari pikiran kita terkadang bertanya-tanya apa makna dari halal bihalal.


Selama ini para pakar masih belum menemukan dalam Al-Quran atau Hadist suatu penjelasan tentang makna halal bihalal. Karena memang istilah ini kebanyakan adanya di Indonesia. Bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun mungkin yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab.


Kenapa demikian? Karena istilah ini juga muncul secara historis dan filosofis oleh seorang pendiri NU kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang ada konflik saudara sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan menyatu untuk saling maaf-memaafkan.


Berhubung dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Pakar Tafsir Al-Qur’an Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas Kiai Wahab Chasbullah tersebut.


Pertama, dari segi hukum fikih. Menurut para ulama  kata halal kebalikan dari kata haram yang ketika duucapkan dalam konteks halal bihalal akan melahirkan kesan bahwa yang apabila mereka melakukannya maka terbebas dari dosa.


Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.


Masih dalam tinjauan hukum fikih. Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh?


Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala.


Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Quraish Shihab tidak memahami kata halal dalam istilah khas Indonesia itu (halal bihalal), dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.

 

Kedua, tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.


Dengan demikian, jika kita memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.

 

Ketiga, tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.

 

Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.


Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik pesan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.


Kesan yang berupaya diejawantahkan Kiai Wahab Chasbullah dalam mencetuskan istilah halal bihalal lebih dari sekadar untuk saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara.


Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama.

 

  

Post a Comment

Previous Post Next Post