KH. Bajuri Yusuf, Biografi dan Riwayat Pendidikan


Hasan Jufri - Biografi ringkas KH Bajuri Yusuf (Pendiri Yayasan Ponpes Hasan Jufri Bawean) lahir tahun 1950 dan wafat tahun 2014.

Biografi ringkas ini ditulis dengan tujuan untuk menghubungkan dan mencari teman-teman seangkatan beliau, atau keluarga teman-teman beliau dulu yang sama-sama belajar di Pondok Krapyak Yogyakarta dari tahun 1966-1975, sebelum KH Bajuri Yusuf berangkat melanjutkan pendidikan ke Makah dan Baghdad.

KH. Bajuri Yusuf dilahirkan di Lebak Sangkapura Pulau Bawean Gresik Jawa Timur pada 20 Maret 1950 dari pasangan Kiyai Yusuf Zuhri dengan Nyai Muthiyah. Ketika memasuki usia sekolah Kiyai Bajuri kecil belajar di Sekolah Rakyat (SR) pada pagi hari sekaligus merangkap di MWB NU (Madrasah Wajib Belajar Nahdlatul Ulama) pada sore hari. 

Pada tahun 1964/1965 beliau mendapat tugas belajar PPUPAN (Pendidikan Pengadilan Urusan Pengadilan Agama) ke Kediri dari Departemen Agama (Ikatan Dinas). Tugas belajar ini tidak sampai terselesaikan sebab segera meletus peristiwa G 30S/PKI tahun 1965. Akhirnya, Kiyai Bajuri pindah ke Krapyak Yogyakarta tahun 1966 untuk meneruskan pendidikannya di Pesantren yang diasuh oleh Kiyai Ali Ma'sum.

Setelah menamatkan sekolah formal di Pesantren tersebut, atas anjuran pengasuh, Kiyai Bajuri melanjutkan pendidikan formalnya ke Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijogo. Kuliah itu dijalaninya dari Pesantren, sebab kala itu ia sudah dilantik menjadi pengurus Pesantren dari tahun 1971-1975. Sayangnya sebelum dapat menamatkan kuliahnya ke doktoral II (Drs) , tahun 1975 ia pergi ke Timur Tengah tepatnya di Makkah al Mukarromah karena mendapatkan beasiswa belajar ke Darul Hadis.
Setelah kurang lebih 1 tahun 6 bulan, tepatnya tahun 1976, ia mendapatkan panggilan belajar di salah satu Universitas ternama di kota Baghdad, yakni Perguruan Tinggi Imam al A'dham yang tahun 1979 dilebur dengan Universitas Baghdad. Kiyai Bajuri kali ini kuliah di Fakultas Syariah. Setelah merampungkan kuliah sarjananya tahun 1980 dengan menyandang titel LISS, ia kembali lagi ke Mekah dan mendaftar pada Program Pascasarjana (S-2) di Universitas Madinah. Sewaktu menunggu penerimaan mahasiswa baru di Universitas Madinah tersebut, Kiyai Bajuri tiba-tiba diminta pulang ke Bawean oleh keluarganya sebab berangkat ke Timteng belum pernah pulang ke Bawean.

Kepulangannya yang pada awalnya hanya direncanakan dalam waktu sebentar, ternyata harus dilakukan selamanya, sebab baru 3 minggu di tanah kelahirannya Bawean, ayahnya KH Yusuf Zuhri berpulang ke rahmatullah. Sebelum ayahnya meninggal, beliau sempat memberi isyarat dengan ikut menata kitab-kitab Kiyai Bajuri yang dibawanya dari Baghdad yang belum tersusun rapi. Ia akhirnya diminta oleh keluarga untuk melanjutkan Pesantren yang telah dirintis oleh ayahnya dan pendahulunya. Demi mengemban amanah itu, Kiyai Bajuri rela membatalkan berkas pendaftaran pendidikan S2 nya di Universitas Madinah.

Banyak orang berkata, seandainya Kiyai Bajuri tetap melanjutkan pendidikannya, dan pulang serta menetap di Jakarta, maka boleh jadi ia sekarang menjadi ilmuwan tingkat nasional, sebab teman-teman seangkatannya beliau seperti Prof Dr Muslim Nasution, Kiyai Haji Muhit Abdul Fattah, Bapak Masdar F. Masudi, KH Said Aqil Siraj, Prof Dr Ali Mustafa Ya'kub, Dr. Ahsin Sakho dan lain-lain, tercatat sebagai ilmuwan berskala nasional. Tetapi itulah mungkin pengorbanan terbesar Kiyai Bajuri Yusuf yang patut diacungi jempol yaitu dengan mengorbankan cita-citanya dan mengabdikan ilmunya di kampung halamannnya di Pulau Bawean, di sebuah Pulau yang terisolir dan tidak terlalu dilirik/dihiraukan pada masa orde baru.

Selama belajar Kiyai Bajuri Yusuf juga aktif diberbagai organisasi. Misalnya pada tahun 1970 di Pondok Krapyak dibaiat menjadi kordinator keamanan karena terkenal disiplin dan keberaniannya, maklumlah ia berdarah Bawean yang terkenal lihai dengan pencak silat. Tahun 1971 ia ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pengurus Pondok Pesantren. Adapun pengalaman organisasinya beliau diantaranya aktif di Gerakan Pemuda Anshor DIY 1970-1973 sebagai wakil ketua, dan aktif di organisasi PPMI dan IPNU. Bahkan ketika kuliah di Baghdad juga pernah menjadi wakil ketua PPI untuk wilayah Iraq pada periode 1978-1979.

Sepulangnya dari Baghdad, selain mengurus Pesantren, beliau juga aktif mengurus PCNU Bawean, mulai dari pengurus bidang dakwah, menjadi Rais Syuriah selama 3 periode dan terakhir menjadi Mustasyar.

Banyak usaha yang telah beliau lakukan selama jadi pengurus NU, diantaranya pembangunan sarana perkantoran dan balai pengobatan, serta pembenahan-pembenahan lainnya terkait dengan pembinaaan organisasi.

Pada tahun 1998, ketikan NU mendirikan partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid, Kiyai Bajuri Yusuf ikut terjun langsung dalam membidani berdirinya PKB di Bawean, bahkan berhasil mengantarkan PKB menjadi satu-satunya partai yang menang mutlak di Bawean.

Tetapi setelah melihat gonjang ganjing politik yang kian hari kian tidak menentu bagaikan lingkaran setan yang tidak ketemu ujung pangkalnya, akhirnya tahun 2002 beliau mengundurkan diri dari campur tangannya di partai politik, beliau kembali fokus kepengembangan Pondok yang beliau asuh sambil tetap menjadi anggota Mustasyar di PCNU Bawean.

Biografi ini disadur dari buku "Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan", dan buku "Pesantren Hasan Jufri Dari Masa Ke Masa".

Previous Post Next Post