Biografi K.H Hasan Jufri

Biografi KH. Hasan Jufri

1.   

Pondok Pesantren Hasan Jufri dirintis oleh KH. Hasan Jufri pada tahun 1930-an. Tidak ada catatan tertulis tentang tahun perintisannya. KH. Hasan Jufri adalah putra dari pasangan KH. Nur dari Pasuruan dan Nyai Hj. Rodliyah dari Desa Lebak Kecamatan Sangkapura Bawean. Dari pasangan ini lahir dua orang putra, yaitu Nahma dan Hasan Jufri.

Pada awalnya, beliau menggelar pengajian di serambi rumah. Untuk para santri mukim, dibuat bangunan sederhana dari bambu. Cikal-bakal pondok pesantren ini, berada di tengah-tengah Dusun Lebak Desa Lebak. Kegiatan pengajian dilaksanakan dengan penerangan obor dan lampu gantung. Lambat laun jumlah santri semakin banyak.

Setelah 5 tahun, untuk memperlancar aktifitas pengajian, maka KH. Hasan Jufri memindahkan para santrinya ke sebuah kebun yang masih kosong. Kebun ini letaknya cukup jauh dari perkampungan warga. Seiring bertambahnya para santri, kebun ini kemudian menjadi pedukuhan baru yang diberi nama Kebunagung.

Nama Kebunagung diyakini berasal dari kata “kebun” dan “agung” yang artinya tamannya  orang-orang yang agung. Dusun Kebunagung, Sungairaya dan Pedaleman Lebak adalah tempat tinggalnya pejabat-pejabat kerajaan tempo dulu.

KH. Hasan Jufri merintis berdirinya pondok pesantren dengan tujuan untuk mencerahkan masyarakat Lebak dan sekitarnya. Masyarakat yang masih belum menjalankan syariat Islam dibimbingnya dengan tekun. Secara bertahap, peserta pengajian yang diasuh oleh KH. Hasan Jufri dipenuhi warga dari berbagai desa di Bawean. 

Selain pengajian rutin untuk para santri, KH. Hasan Jufri juga membuka pengajian untuk masyarakat. Pengajian ini dilaksanakan seminggu dua kali di malam hari. Pada saat malam pengajian, terlihat puluhan obor bergerak menuruni bukit menuju Dusun Kebunagung. Dusun ini benar-benar ramai oleh orang yang sedang menuntut ilmu.

Para santri KH. Hasan Jufri bertebaran di seluruh pelosok Bawean. Seperti Kiai Fauzi (Menara Gunungteguh), Kiai Mansur (Paginda Sukaoneng), Kiai Aswin (Pagarangan Paromaan), Kiai Hasan (Diponggo), Kiai Alwi (Tirta Sungairujing) dan Kiai Hasan (Bululanjang). Bahkan sebagian ada yang merantau  ke Singapura (H. Syafiq), Malaysia (H. Abdul Jalal), dan Australia (H. Syafri). 

Untuk membangun Pondok Pesantren, maka para santri dan warga bergotong royong. Mereka bahu-membahu mendirikan pondok, musala dan rumah kiai. Dinding bangunan terbuat dari bambu (gedhek) dan atap bangunannya dari daun ilalang. Bangunan semacam itu sama seperti bangunan rumah-rumah penduduk di Pulau Bawean saat itu.

KH. Hasan Jufri adalah seorang kiai yang alim dan bersuara merdu. Di setiap pengajiannya, selalu diselingi dengan syair-syair yang berisi nasehat kehidupan. Lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang dibacanya mampu menembus hati para pendengarnya. Keindahan suaranya masih sering diperbincangkan orang sampai saat ini.

KH. Hasan Jufri adalah tipe kiai kelana. Beliau menghabiskan masa mudanya dengan menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Diawali dari mengaji al-Quran di desanya, beliau melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Termas Pacitan. 

Setelah tiga tahun, beliau menuju ke Pondok Pesantren Tebuireng dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Di Pesantren Tebuireng ini, beliau bersahabat karib dengan putranya pengasuh, yaitu Abdul Wahid Hasyim. Setelah nyantri di Pesantren Tebuireng selama 3 tahun, beliau melanjutkan ke Pesantren Sidogiri Pasuruan.

Di Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Hasan Jufri belajar dengan tekun. Beliau menampakkan kecerdasannya terutama dalam memecahkan masalah hukum agama. Beliau juga pandai bergaul, maka tidak mengherankan bila beliau selalu dekat dengan para putra pengasuh. Di Pesantren Sidogiri, beliau bersahabat dengan Kiai Abdul Jalil, Kiai Kholil dan Kiai Abdul Adzim. Bahkan mereka bersama-sama berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.






Sebagaimana tradisi para santri yang berangkat haji, mereka juga menetap di Makah selama dua tahun untuk menuntut ilmu. Sepulangnya dari Makah, KH. Hasyim Asy’ari memanggilnya kembali ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk membantunya mengajar. Namun pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri tidak mengizinkannya.

Di Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Hasan Jufri menetap selama 17 tahun. Beliau dipercaya oleh gurunya untuk mengajar santri baru. Karena kealimannya, beliau dijuluki “Macan Bawean”. Setelah pulang dan  menetap di pulau Bawean, KH. Hasan Jufri menikah dengan gadis dari Desa Lebak yang bernama Sulaiha. Pernikahan ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Baharudin.

Tahun 1940-an , KH. Hasan Jufri wafat. Tepatnya hari Jumat. Ada kejadian menarik ketika beliau menjelang wafat. Hari itu beliau pergi ke masjid Lebak, lalu pulang ke rumah, kembali lagi ke masjid, lalu kembali lagi ke rumah sampai 3 (tiga) kali. Tentu hal ini mengherankan semua orang. Namun bagi orang yang arif, hal ini bisa dimaklumi. Orang-orang shaleh seperti KH. Hasan Jufri biasanya sudah diberi tanda oleh Allah  bahwa ajalnya sudah dekat.

Sampai saat ini tidak ditemukan foto KH. Hasan Jufri. Sebab beliau tidak berkenan dipotret. Sikap ini didasari oleh kehati-hatian beliau supaya terhindar dari sifat ujub (membanggakan diri) dan sombong. Sikap hati-hati ini juga dibuktikan dengan wasiat beliau agar kelak ketika sudah tiada disemayamkan  di pemakaman umum. Kini, makam beliau ada di dusun Padek desa Lebak.

Selanjutnya Pondok Pesantren dikelola oleh keponakan mantu  yakni KH. Yusuf Zuhri. Beliau adalah seorang hafidz al-Quran. Kepengasuhan pondok pesantren tidak diserahkan kepada putranya karena masih kecil. Putranya yang bernama Baharudin masih berusia 10 tahun. KH. Yusuf Zuhri adalah alumni Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta yang diasuh oleh KH. Munawir. Beliau nyantri di Pesantren Krapyak selama 20 tahun. Sampai di era kepengasuhan KH. Yusuf Zuhri ini, pondok pesantren belum memiliki nama. Masyarakat menyebutnya Pondok Kebunagung, sesuai nama dusunnya.

Sumber : Pesantren Hasan Jufri Dari Masa Kemasa

Post a Comment

Previous Post Next Post